22 Februari 2013

Master Plan Fast-Track Action For The Poor: Contoh Kota Bogor Tahun 2012-2016


Master Plan Fast-Track Action For The Poor: Contoh Kota Bogor Tahun 2012-2016

Kemiskinan merupakan tantangan pembangunan yang biasa terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia. Profil pembangunan di Indonesia masih didominasi oleh wajah kemiskinan. Pencapaian pembangunan di negara berkembang oleh karenanya sering ditandai oleh sejauhmana keberhasilan suatu Pemerintahan mengatasi masalah-masalah kemiskinan. Pemerintah Indonesia sejak lama telah memerangi kemiskinan. Kota Bogor merupakan salah satu bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kota Bogor mempunyai komitmen dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Bogor tahun 2010-2014 untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskinnya dan memberikan kontribusi dalam mengurangi jumlah penduduk miskin secara nasional.

Berkenaan dengan upaya menanggulangi kemiskinan, Pemerintah Kota Bogor bertekad merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan secara khusus dalam dokumen MasterPlan Fast-Track Action For The Poor Tahun 2012-2016. Dokumen ini merupakan penjelasan lebih lanjut dari dokumen RPJMN Kota Bogor tahun 2010-2014. Tujuan dari hadirnya dokumen Master Plan Fast-Track Action For The Poor Tahun 2012-2016 memberikan pedoman bagi jajaran Pemerintah Kota Bogor dalam melaksanakan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kota Bogor, guna memberikan tatacara penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang bersinergi baik di dalam jajaran Pemerintah Kota Bogor sendiri maupun antar kebijakan Pemerintah Kota Bogor dengan kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat.

Master Plan Fast-Track Action For The Poor Tahun 2012-2016 disusun berdasarkan tiga pilar strategi, yaitu (1) strategi bantuan sosial berbasis rumah tangga miskin yang akan diberikan kepada keluarga miskin (sebagai pemanfaat) dalam bentuk bantuan langsung kepada keluarga sasaran; (2) strategi penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat dengan sasaran kelompok rumah tangga miskin; dan (3) strategi penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil dengan sasaran kepada kelompok usaha beranggotakan perwakilan dari beberapa rumah tangga miskin yang produktif. Pelaksanaan strategi ini memerlukan koordinasi yang baik secara lintas-program dan lintas-SKPD. Oleh karena itu, suatu Sekretariat Pelaksanaan Master Plan Fast-Track Action For The Poor akan menjadi koordinator pelaksanaan strategi penanggulangan kemiskinan di Kota Bogor.

Persyaratan penukilan: para pembaca diperbolehkan mengutip sebagian isi artikel ini dengan syarat menuliskan sumbernya dalam catatan kaki (footnote) atau catatan samping (sidenote).



Problematika Kemiskinan dan Orientasi Penanggulangan Kemiskinan


Buku-buku Seri Manajemen Perencanaan Pembangunan
Sinopsis buku "Problematika Kemiskinan dan Orientasi Penanggulangan Kemiskinan"

Masalah kemiskinan menjadi pembicaraan banyak pihak karena kemiskinan merupakan permasalahan multisektoral dan menjadi tanggung jawab semua pihak baik dari tingkat kementrian/lembaga sampai pada individu masyarakat. Perhatian serius kepada keluarga miskin terlihat dengan kebijakan-kebijakan aktivitas yang dilakukan oleh Pemerintah yang sasarannya adalah keluarga miskin. Masalah kemiskinan hanya dapat dituntaskan apabila Pemerintah melakukan kebijakan yang serius memihak kepada keluarga miskin. Namun, seringkali kebijakan yang dibuat justru kurang memihak keluarga miskin, akibatnya kebijakan yang ada semakin memperburuk kondisi keluarga miskin bahkan menyebabkan seseorang yang tidak miskin menjadi miskin. Dalam makalah ini, akan dipaparkan kondisi persoalan dasar kemiskinan di Indonesia serta strategi dan kebijakannya.

Kemiskinan merupakan permasalahan harus kita selesaikan, karena keadaan kemiskinan membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lemah dan tidak bermartabat. Kondisi kemiskinan yang tengah dihadapi oleh Indonesia dapat kita lihat dari pendekatan konsumsi penduduk miskin, kemiskinan multi dimensi, dan kesenjangan antar-wilayah. Uraiannya berikut ini.

Pertama, konsumsi penduduk miskin. Masalah kemiskinan dapat kita amati pada tingkat konsumsi penduduk Indonesia. Pendekatan konsumsi penduduk untuk melihat fenomena kemiskinan dapat dilihat dari dua jenis ukuran, yaitu ukuran konsumsi penduduk miskin dan ukuran daya beli. Ukuran konsumsi penduduk miskin diukur dari garis kemiskinan makanan dan non-makanan.

Kedua, kemiskinan multi dimensi. Fenomena kemiskinan di Indonesia dapat diamati pada berbagai dimensi yang menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk miskin tidak mampu menikmati pelayanan dasar. Pada tahun 2002, sebesar 52,32 persen rumah tangga miskin hidup tanpa akses air minum. Selain itu sekitar 43,86 persen rumah tangga miskin hidup tanpa akses sanitasi. Dimensi berikutnya adalah rumah tangga miskin yang memiliki anak usia 12-15 tahun tetapi tanpa akses pendidikan dasar menengah mencapai 20,76 persen. Kemudian tercatat pula sekitar 27,89 persen rumah tangga miskin yang pernah melahirkan bayi tanpa ditangani tenaga kesehatan terlatih. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa kelompok penduduk miskin sangat jarang menikmati fasilitas air minum, sanitasi, pendidikan, kesehatan. Secara umum Indeks Kemiskinan Manusia Indonesia tahun 2005 diperkirakan sebesar 18,19.  Kondisi ini lebih baik dibandingkan lima tahun sebelumnya dengan indeks sebesar 27,75.

Ketiga, kesenjangan antar-wilayah. Masalah kemiskinan dapat kita pahami dari masalah kesenjangan di Indonesia yang sangat kentara ketika kita mengamati indikator Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPMI). IPMI menggambarkan kondisi kesehatan, pendidikan, gizi, dan air minum yang dialami oleh penduduk Indonesia. Dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004 yang memuat IPMI di masing-masing kabupaten/kota mencerminkan adanya ketimpangan antar-daerah yang masih tinggi dalam hal kesejahteraan penduduk miskin di masing-masing kabupaten/kota. Dalam laporan tersebut, lima provinsi pertama dengan IPM terendah adalah Nusa Tenggara Barat, Papua, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Gorontalo, Jawa Timur. Sementara itu lima provinsi pertama dengan IPM tertinggi adalah Jakarta, Sulawesi Utara, Yogyakarta, Kalimantan Timur, dan Riau.

Persyaratan penukilan: para pembaca diperbolehkan mengutip sebagian isi artikel ini dengan syarat menuliskan sumbernya dalam catatan kaki (footnote) atau catatan samping (sidenote).
Apabila Pembaca menginginkan e-book buku “Problematika Kemiskinan dan Orientasi Penanggulangan Kemiskinan”, mohon infak Rp 5.000 melalui rekening BCA guna mendapatkan password download.

Strategi Evaluasi: Pilihan dan Pendekatan


Buku-buku Seri Manajemen Perencanaan Pembangunan
Sinopsis buku "Strategi Evaluasi: Pilihan dan Pendekatan"

Evaluasi merupakan bagian dari proses manajemen dan merupakan salah satu fungsi dalam siklus manajemen. Evaluasi adalah suatu usaha untuk mengukur dan memberi nilai secara obyektif pencapaian hasil-hasil yang telah direncanakan. Evaluasi merupakan suatu proses untuk menjelaskan secara sistematis untuk mencapai tujuan dengan efisien dan efektif, serta untuk mengetahui dampak dari suatu kegiatan dan juga membantu pengambilan keputusan untuk perbaikan satu atau beberapa aspek program perencanaan yang akan datang. Evaluasi merupakan instrumen bagi pengawasan manajerial untuk mendapat hasil yang sesungguhnya dibandingkan dengan hasil yang diharapkan.

Berdasarkan konsep di atas, maka hasil evaluasi apabila difokuskan pada suatu usaha tertentu dapat menyediakan informasi yang penting untuk membuat keputusan, serta dapat menilai manfaat atau kegunaan tertentu dari suatu kebijakan. Evaluasi sebagai salah satu fungsi manajemen berurusan dan berusaha untuk mempertanyakan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan dari suatu rencana sekaligus mengukur seobyektif mungkin hasil-hasil pelaksanaan itu dengan ukuran-ukuran yang dapat diterima.

Berbagai model evaluasi tersedia dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan evaluasi itu sendiri. Buku ini menyediakan pemahaman konsep dan cara tentang strategi evaluasi, dan termasuk memahami berbagai pilihan dan pendekatan yang ada serta memberikan pemahaman bagaimana evaluasi-evaluasi itu dapat dilakukan dalam berbagai situasi, pelaku, dan konteks yang berbeda.

Apabila Pembaca menginginkan e-book buku “Strategi Evaluasi: Pilihan dan Pendekatan”, mohon infak Rp 5.000 melalui rekening BCA guna mendapatkan password download.

01 Agustus 2012

“Membumikan Etika Dalam Kelembagaan Keuangan Mikro di Indonesia”


“Membumikan Etika Dalam Kelembagaan Keuangan Mikro di Indonesia”

Randy R. Wrihatnolo


I. Sejarah Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia

Kesejahteraan masyarakat senantiasa menjadi pangkal tolak dan cara pandang ketika para ahli dan praktisi pembangunan mencoba mencermati konsep dan kebijakan pembangunan. Sebagai pangkal tolak konsep pembangunan, kesejahteraan masyarakat selalu menjadi akar historis buah-buah pemikiran pembangunan. Sebagai cara pandang konsep pembangunan, kesejahteraan masyarakat selalu mendominasi substansi kebijakan pembangunan dan terutama kebijakan pembangunan di Negara Berkembang. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan salah satu pemikiran yang berangkat dari histori kesejahteraan masyarakat ini.

Cara pandang terhadap konsep BUMDes sebagai media intermediasi dana tunai cepat dapat ditarik dari prinsip pegadaian yang sudah dikenal pada zaman Majapahit (Muhammad Hatta, 1955). Prinsip pegadaian merupakan salah satu konsep penyelenggaraan lembaga keuangan mikro paling kuno (Nasirin, 1985). Salah satu fungsinya adalah sebagai lembaga jasa penyedia dana tunai bagi para pedagang yang kebetulan membutuhkan dana tunai untuk berdagang kebutuhan pokok di wilayah Ibukota Majapahit dengan menjaminkan sebagian nilai barang dagangannya kepada pengampu uang. Meski tidak sangat populer di kalangan “kasta” pekerja, kelembagaan keuangan mikro ini sangat dibutuhkan oleh kalangan “kasta” pedagang. Sejalan dengan perkembangan kebutuhan, format kelembagaannya pun mengalami modifikasi hingga menjadi beraneka-rupa peran dan bentuk namun mempunyai fungsi identik, yaitu menyediakan dana segar. Peran ini selalu hampir mirip hingga memasuki zaman Mataram. Bahkan pada zaman Mataram Islam, konsep kelembagaan keuangan mikro meluas perannya, tidak saja sebagai penyedia dana tetapi memberikan “cara” dalam membagi tanggung-jawab, sehingga cara kerjanya telah menyerupai cara kerja lembaga jasa keuangan modern dalam melakukan kerjasama antara pemilik aset dan pengelola aset dalam cara kerja yang disebut sebagai prinsip bagi hasil (paron) dan prinsip tanggung-renteng (mrapat). Sementara itu di kalangan “kasta” pekerja ketika ekonomi uang semakin membiasa maka mulailah dikenal cara kerja pelepas uang bagi kebutuhan dana tunai harian dalam jumlah kecil. Praktek rentenir lahir dari modifikasi cara kerja pelepas uang ini terutama ketika peminjam terjebak pada kerentanan ekonomi.

Memasuki zaman Kolonial, masyarakat Nusantara terutama yang berdomsili di Jawa mulai berkenalan dengan prinsip simpan-pinjam yang dibumikan oleh cita-cita pendirian Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren (Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi yang berkebangsaan Indonesia Pribumi). Lembaga keuangan ini didirikan Raden Aria Wirjaatmadja di Purwokerto pada 16 Desember 1895 dan kemudian menjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI). Berangkat dari pengalaman “Spaarbank” BRI ini ketika mengoperasionalkan unit-unit simpan-pinjam hingga ke pelosok desa, maka bermunculanlah berbagai bentuk lembaga keuangan gurem dengan prinsip simpan-pinjam hingga di masa kini dan menjadi cikal bakal prinsip kerja dalam lembaga keuangan non-formal.

Saat ini apabila kita mencermati kembali berbagai bentuk lembaga keuangan mikro tersebut, maka dapat dikenali tiga kelompok besar, yaitu kelompok formal yang biasa berbentuk bank baik yang tunduk pada perbankan umum dan perbankan perkreditan rakyat, kelompok koperasi yang tunduk pada regulasi perkoperasian, dan kelomopok non-formal yang belum tunduk pada regulasi resmi. Kelompok non-formal banyak berkembang justru “diregulasi” kebiasaan yang sudah temurun di tengah masyarakat mulai dari kelompok arisan hingga paguyuban desa. Kelompok yang belum “diregulasi” ini jumlahnya ribuan, namun justru mempunyai peran sangat besar dalam menggerakkan perekonomian tradisional ala teori Profesor Boeke. Pada masa Republik baik di era Pemerintahan Presiden Soekarno dan Pemerintahan Presiden Soeharto, kelompok non-formal justru mempunyai daya tahan tinggi karena jumlah simpanan atau aktiva guremnya inilah yang menjadikan mediasinya sangat digemari para pekerja dan pedagang kecil. Peran lembaga keuangan yang bekerja non-formal ini sangat luas dan bermacam-macam, seperti Lumbung Pitih nagari di Sumatera Barat, lembaga Marsipatua Hutanabe di Sumatera Utara, Badan Kredit Desa di Jawa Tengah, Subak di Bali, dan sebagainya. Di sana terdapat pengalaman yang berfokus pada kebersamaan dan gotong-royong yang sudah seharusnya menjadi “soko guru” pengembangan lembaga keuangan mikro, termasuk dalam mengembangkan BUMDes.

II. Pengalaman Operasional Lembaga Keuangan Mikro

Pada aspek substansi kebijakan, pengalaman menarik dapat dipelajari baik dari pengalaman bangsa Nusantara ini maupun dari pengalaman di Negara Maju. Semua pakar setuju bahwa sektor keuangan adalah kunci pembangunan di negara berkembang. Financial markets memainkan peran penting untuk mengerakkan kemajuan fungsi sektor riil secara efisien (Nissanke dan Aryeetey, 1998). Sesungguhnya hubungan antara sektor keuangan dan sektor keuangan sangat penting, karena rasionalnya, meraka menjalankan tugas masing-masing sesuai keahlianya. Sektor keuangan menyediakan pelayanan keuangan yang layak, dan sektor riil menyelenggarakan kegiatan produksi yang efisien. Tidak campur aduk, atau tidak mungkin pelaku sektor riil diberi kewenangan memiliki bank, atau bank menyalurkan dananya kepada anak perusahaannya yang bekerja di sektor riil. Pasti akan terjadi konflik kepentingan. Inilah awal dari kegagalan menciptakan sistem keuangan yang mapan, sekaligus awal kehancuran dari bisnis di sektor riil, karena rule of conduct dilanggar, pengawasan yang regang, dan hilangnya trust. Beberapa peristiwa di tanah air kita seputar tumbuh layunya sektor keuangan –khususnya sektor perbankan—menunjukkan kepada kita kenyataan itu. Selama dua dasawarsa terakhir, banyak bank bertumbangan, ada pula beberapa lembaga keuangan bukan bank yang juga failed. Aspeknya karena mereka lupa sejarah, dan tragisnya lupa pada etika.

Pengalaman sejumlah negara berpendapatan per-capita tinggi –yang hampir seluruhnya menggunakan pendekatan Keynes—berfokus pada etika. Di Negara Maju, sektor keuangan memainkan peran yang sangat penting. Perekonomian mereka digerakkan oleh instrumen sistem keuangan yang sudah mapan. Kemapanannya terletak pada hubungan yang sangat dekat antara kejelasan aturan main yang disebut sebagai rule of conduct, dengan pengawasan dan penegakan peraturan secara ketat yang yang dipahami sebagai consistency, serta dengan etika kejujuran yang dipegang erat oleh para pelakunya yang kemudian dikenal dengan culture system (Bank Dunia, 2002). Satu sama lain tidak bisa berdiri sendiri, bahkan menjadi sebuah tradisi dari generasi ke generasi dan dari abad ke abad (Thomas O’Connor, 2002). Rule of conduct sendiri adalah seperangkat tata aturan formal yang dihasilkan melalui lembaga publik sebagai koridor dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan di sektor keuangan. Rule of conduct yang wise tidak lahir dari kesepakatan sekali jadi, namun senantiasa diperbarui. Ia memainkan peran mengatur fungsi-fungsi dari setiap elemen dalam sistem keuangan secara jelas dan lugas. Misalnya, dalam hal ini mengambil contoh lembaga bank. Rule of conduct memberikan pengaturan yang jelas dalam hal strata bank, kepemilikan saham dalam bank, dan core business dari bank-bank yang beroperasi. Bank-bank harus taat asas, tunduk pada aturan main, jika tidak maka langsung masuk black list. Yang berat justru bukan dihakimi oleh institusi publik, tetapi dihakimi langsung oleh para nasabah. Sebaliknya, rule of conduct sangat melindungi kepentingan nasabah. Complain dari nasabah sangat diperhatikan oleh pihak bank. Consistency merupakan norma yang diadopt dan dilaksanakan serius dalam bisnis perbankan, karena bisnis perbankan sendiri adalah bisnis kepercayaan (trust). Sekali suatu bank cidera janji atau tidak konsisten dalam melaksanakan tugasnya, maka nasabah atau pelanggannya pasti segera menarik diri dari hubungannya dengan pihak bank. Culture system adalah sangat penting dalam hal hubungan antara penyedia pelayanan (service provider) dan pemanfaat layanan (beneficiary) karena harus dibangun sebagai sebuah kesadaran bahwa keamanan, kenyamanan, dan kemanfaatan adalah harta paling berharga yang dimiliki oleh bank dan nasabahnya. Harta ini merupakan milik bersama, jadi harus dijaga bersama. Kalau hilang maka semua pihak akan menanggung kerugiannya. Kunci untuk menjaga harta itu adalah kejujuran. Kejujuran yang berurat-akar dalam diri pelaku bank dan nasabahnya. Lebih dari itu, bahkan telah menjadi karakter dari sebuah bangsa yang layak disebut bangsa modern-maju. Krisis ekonomi dan kehancuran ekonomi sebuah negara banyak bermula ketika etika telah luluh dan lantak.

III. Etika untuk Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia


Sektor keuangan mikro di Indonesia sesungguhnya mempunyai akar tradisi yang berbeda dengan “kakak kelasnya”—yang lebih banyak bergelut di sektor keuangan formal. Sektor keuangan mikro di Indonesia justru banyak berkembang sebagai sektor non-formal (sepenuhnya berada di luar jalur formal) atau sektor on-formal (baca: setengah formal setengah tidak), meskipun ada juga yang berada dalam jalur formal meskipun sembunyi di balik peraturan yang bukan pakemnya, misalnya di bawah lindungan payung “pura-pura bank” sebagai bank perkreditan rakyat atau sebagai badan usaha koperasi simpan pinjam. Meskipun rule of conduct-nya berserakan, namun hebatnya adalah, mereka mempunyai consistency dan culture sistem yang bisa disejajarkan sebagai lembaga keuangan yang modern-maju. Bahkan terbukti mereka lebih bisa lebih efisien ketimbang bank-bank besar karena pasarnya sangat besar (giant financial market). Namun kelemahan tunggalnya adalah, nasabahnya susah membentuk modal sendiri (capital formulation) dalam waktu singkat, bahkan cenderung “hidup segan matipun malu”.

Belajar dari pengalaman banyak negara, sesungguhnya kita bisa mengawinkan tradisi keuangan mikro yang sudah hadir di tengah-tengah masyarakat kita dengan apa yang diajarkan oleh sektor keuangan di negara modern/maju. Hal ini nantinya, menurut dugaan saya, merupakan prasyarat agar sistem keuangan mikro di Indonesia menjadi lebih sukses.

Saya menitikberatkan prasyarat itu pada tata nilai sistem keuangan mikro yang memberikan fokus pada pembagian tugas yang jelas di antara para pelaku keuangan mikro (role enforcement) dan memperkuat nilai kepercayaan (trust) di antara antara para pelaku keuangan mikro. Pembudayaan peran dan etika kepercayaan merupakan dasar bagi kode etik keuangan mikro Indonesia yang tumbuh secara alami –karena memang tidak bisa tumbuh begitu saja-- sebagai kode etik “resmi”. Kode etik itu bisa dibangun atas dasar nilai-nilai yang telah ada selama ini, yaitu kejujuran dan local wisdom, sehingga semua pelaku menjadi merasa saling memberikan rasa aman, saling mewujudkan kenyamanan, dan saling membawa manfaat.

Kode etik keuangan mikro Indonesia harus disepakati semua pihak dalam pengembangan usaha mikro dan demi mencapai harapan yang berhampiran dengan Pembukaan UUD 1945, yaitu mampu memberikan dukungan untuk mewujudkan manusia Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, dan makmur. Kode etik ini merangkum dan “memformalkan” kebiasaan-kebiasaan yang positif yang telah berkembang di antara para pelaku keuangan mikro di Nusantara, sehingga ide-ide baru yang muncul dengan semangat memajukan usaha mikro justru tidak melukai keberhasilan usaha mikro dan lembaga keuangan mikro yang sudah ada di Indonesia.

Akhirnya, dalam lembaga keuangan mikro harus ingat pada jaitidiri bahwa mereka melakukan pelayanan permodalan (finance service), dan dalam pelayanan permodalan diperlukan lembaga keuangan (financial institution) yang ideal dalam arti mempunyai ciri sosial dengan dasar kebersamaan, dan ciri ekonomi dengan menerapkan prinsip ekonomi berupa prosedur dan kriteria perbankan. Kebersamaan diawali dari saling mengenal, saling membantu, dan menerapkan perhitungan ekonomi. Prinsip ekonomi mengandung empat unsur, yaitu unit kegiatannya menguntungkan, pembukuannya sederhana tetapi dapat dengan mudah digunakan sebagai pemeriksaan dan pengawasan, pembukuan kegiatannya terpisah dari kegiatan lain, dan adanya otonomi dalam pengambilan keputusan.


Lembaga keuangan mikro paling tidak harus memenuhi empat syarat sebagai instrumen membumikan etika baik pengelola lembaga keuangan mikro dan lembaga keuangan mikronya sendiri. Persyaratan tersebut meliputi: (1) lembaga tersebut memenuhi syarat legal dan formal dalam mendeskripsikan etika organisasi; (2) lembaga keuangan tersebut harus transparan, mudah diawasi dan dipantau oleh masyarakat; (3) lembaga itu harus menguntungkan baik bagi masyarakat maupun bagi kelangsungan lembaga keuangan itu sendiri; dan (4) lembaga itu harus dapat memberikan pelayanan keuangan yang dapat menjangkau lapisan “gurem”.


Persyaratan penukilan: para pembaca diperbolehkan mengutip sebagian isi artikel ini dengan syarat menuliskan sumbernya dalam catatan kaki (footnote) atau catatan samping (sidenote).
---
oooOOOooo---

16 Mei 2011

Buku-buku Seri Manajemen Perencanaan Pembangunan

Buku-buku Seri Manajemen Perencanaan Pembangunan
Oleh
Randy R. Wrihatnolo

Sinopsis buku “Membumikan MDG’s: Menggunakan Millennium Development Goals Sebagai Pendekatan Perencanaan”

Indonesia telah sejak masa Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melakukan pembangunan yang selaras dengan delapan tujuan Millenium Development Goals (MDG’s, atau MDGs saja) --yang diindonesiakan Tujuan Pembangunan Milenium (TPM)-- mulai dari menghapuskan kemiskinan dan kelaparan, mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang, mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, melawan penyebaran HIV/AIDS dan penyakit kronis lainnya (malaria dan tuberkulosa), menjamin keberlangsungan lingkungan hidup, serta mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Sebagai satu cita-cita universal bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia, MDGs dapat menjadi semacam rujukan bahkan sebagai panduan untuk menuntun sebuah pelaksanaan kegiatan hingga menjadi kenyataan yang berharga dan positif bagi seluruh umat manusia. Cita-cita MDGs ini yang didasari oleh kenyataan bahwasanya pembangunan yang hakiki adalah pembangunan manusia. Pembangunan manusia merupakan paradigma yang harus menjadi landasan pelaksanaan pembangunan negara-negara di dunia yang menyepakati Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 18 September 2000.

Penulis berharap kehadiran buku ini di tengah para pembaca dan para pemerhati pembangunan manusia dapat menjadi wacana dan sekaligus menjadi sumber untuk memulai sebuah kreativitas dan inisiatif baru. Sebuah inisiatif yang mampu membumikan cita-cita MDGs yang tertuang dalam Deklarasi Milenium 18 September 2000 dalam pergulatan sehari-hari aktivitas manusia mulai dari aktivitas meningkatkan kesejahteraan keluarga, meningkatkan akses keluarga pada sumber gizi, meningkatkan akses keluarga pada pendidikan dan kesehatan yang lebih bermutu, memantapkan peran perempuan dalam semua aktivitas secara lebih proporsional, mengembangkan aktivitas yang peka terhadap konservasi lingkungan hidup yang berkelanjutan, serta senantiasa aktif melakukan kerjasama yang sinergi dan harmonis.

Apabila Pembaca menginginkan e-book buku “Membumikan MDG’s: Menggunakan Millennium Development Goals Sebagai Pendekatan Perencanaan”, mohon infak Rp 5.000 melalui rekening BCA guna mendapatkan password download.

===============
Buku-buku Seri Manajemen Perencanaan Pembangunan
Sinopsis buku "Konsep dan Pendekatan Pembangunan"

Menyinggung hubungan pembangunan dan perencanaan, secara “dipermudah” (ceteris paribus) dapat diibaratkan bahwa hubungan antara pembangunan (baca: konsep pembangunan) dan perencanaan seperti mobil dan bahan bakarnya. Jika perencanaan diupamakan sebagai mobil, maka pembangunan diumpamakan sebagai bahan bakarnya. Suatu mobil mewah dapat beroperasi dengan baik, apabila suatu mobil mewah yang bagus diisi dengan bahan bakar berkualitas tinggi, karena mobil yang bagus tentu saja membutuhkan bahan bakar yang berkualitas tinggi. Sementara itu, agar suatu mobil dapat berjalan dengan sehat, maka suatu mobil yang biasa-biasa saja tentu saja cukup membutuhkan bahan bakar berkualitas sedang. Persoalan akan muncul ketika suatu mobil mewah diisi dengan bahan bakar berkualitas rendah, atau bahkan salah jenis bahan bakar –misalnya mobil premium diisi solar--, maka tentu saja mobil tersebut tidak akan bekerja dengan baik, atau bahkan akan merusak mobil itu. Sebaliknya, mobil yang biasa-biasa saja apabila diisi dengan bahan bakar berkualitas tinggi tentu tidak akan berdampak terlalu signifikan pada kinerja mobil tersebut. Perumpamaan ini secara sederhana menunjukkan bahwa konsep pembangunan –secantik dan seideal apapun—akan percuma apabila tidak direncanakan dengan sempurna, karena tidak akan dapat diterapkan dan tentu saja tidak akan pernah dapat mewujud bagi kemanfaatan masyarakat. Sebaliknya, konsep pembangunan yang buruk, bisa jadi akan dapat direncanakan dengan baik –apabila memang proses perencanaannya berjalan dengan ideal—namun dampak dan kemanfataannya bagi masyarakat tentu saja akan tidak sempurna dan mungkin saja justru berdampak buruk. Nah bagaimana seandainya konsep pembangunannnya buruk, dan perencanaannya juga buruk. Sungguh hasilnya akan membawa petaka bagi masyarakat.

Dalam hubungan inilah, tentu saja dengan asumsi konsep pembangunannya telah tersusun dengan sempurna, maka suatu perencanaan harus dimanajemeni dengan baik. Suatu perencanaan yang baik akan terjadi apabila sedari awal, prosesnya, dan akhirnya berjalan secara konsisten. Dari berbagai konsep perencanaan, saat ini terdapat konsep perencanaan yang berbasis pada tahap evaluasi, tahap penyusunan rencana, tahap penetapan rencana, dan tahap penerapan rencana serta pengendaliannya. Konsep perencanaan demikian –yang disebut dengan konsep perencanaan berbasis pendekatan proses-- menuntut pemahaman, pemikiran, dan pendalaman yang sepenuh hati. Perencanaan berbasis pendekatan proses menjadi lebih baik apabila di dalamnya diikuti dengan perangkat yang menjadikan perencanaan sebagai proses teknokratik. Dalam konteks demikian, maka suatu konsep pembangunan akan dapat direncanakan selaras dengan tujuan bernegara, dan tentu saja, suatu konsep perencanaan berbasis kinerja dibutuhkan. Buku ini membahas konsep-konsep pembangunan dalam rangka pendalaman pemahaman hakikat pembangunan itu sendiri.

Apabila Pembaca menginginkan e-book buku “Konsep dan Pendekatan Pembangunan”, mohon infak Rp 5.000 melalui rekening BCA guna mendapatkan password download.

===============
Buku-buku Seri Manajemen Perencanaan Pembangunan
Sinopsis buku “Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerja”

Dalam rangka penyempurnaan sistem perencanaan pembangunan nasional, telah dikembangkan sistem pendukung manajemen pembangunan nasional sebagai salah satu penyumbang keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan nasional, meskipun beberapa langkah yang ada tersebut belum cukup membuahkan dampak yang efektif. Sistem ini meliputi berbagai mekanisme yang pada hakikatnya bertujuan menyempurnakan proses perencanaan dan penganggaran. Beberapa upaya tindak lanjut diperlukan mencakup beberapa hal.

Pertama, meningkatkan kualitas mekanisme pengendalian pelaksanaan prioritas pembangunan nasional. Saat ini telah ada lembaga UKP4. Kementerian PPN/Bappenas, Kemenkeu bersama UKP4 seyogianya meningkatkan kualitas mekanisme pengendalian pelaksanaan pembangunan terhadap kementerian/lembaga.

Kedua, meningkatkan kualitas mekanisme evaluasi kinerja pembangunan nasional baik secara sektoral dan regional. Kementerian PPN/Bappenas seyogianya mengkoordinasikan langkah ini. Kualitas mekanisme evaluasi kinerja pembangunan nasional perlu ditingkatkan dengan menerjemahkan sejumlah UIU dan PP ke dalam peraturan-peraturan yang lebih teknis dan bersifat memberikan panduan.

Ketiga, meningkatkan kualitas mekanisme perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja yang saat ini dilaksanakan bersama oleh Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan. Kualitas mekanisme evaluasi kinerja pembangunan nasional ditingkatkan dengan memberikan pemahaman operasional bagi seluruh jajaran kementerian/lembaga dan jajaran pemerintah provinsi serta pemerintah kabupaten/kota.

Buku ini hadir untuk membahas konsep-konsep perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja dalam rangka rekomendasi peningkatan kualitas mekanisme perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja.

Apabila Pembaca menginginkan e-book buku “Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerja”, mohon infak Rp 5.000 melalui rekening BCA guna mendapatkan password download.

===============
Buku-buku Seri Manajemen Perencanaan Pembangunan
Sinopsis buku “Metode Evaluasi Kinerja: Sebuah Panduan Sederhana”

Perencanaan yang telah disusun dengan baik, tidak ada artinya jika tidak dapat dilaksanakan. Setiap pelaksanaan rencana tidak akan berjalan lancar jika tidak didasarkan kepada perencanaan yang baik. Sejalan dengan itu, dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas alokasi sumberdaya, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan program pembangunan, perlu dilakukan upaya pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana pembangunan.

UU 25/2004 mengamanatkan perlunya evaluasi pemantauan terhadap pelaksanaan rencana pembangunan di setiap unit kerja Kementerian/Lembaga (K/L). Amanat ini disebutkan dalam Pasal 28 sebagai berikut: (1) Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan dilakukan oleh masing-masing Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD); (2) Menteri/Kepala Bappeda menghimpun dan meng-analisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing pimpinan Kementerian/ Lembaga/SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Selain itu, dalam Pasal 29 juga disebutkan bahwa: (1) Pimpinan Kementerian/ Lembaga melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan Kementerian/Lembaga periode sebelumnya; (2) Pimpinan SKPD melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan SKPD periode sebelumnya; (3) Menteri/ Kepala Bappeda menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi pimpinan Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan evaluasi SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2); (4) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi bahan bagi penyusunan rencana pembangunan nasional/daerah untuk periode berikutnya.

Pelaksanaan dari amanat undang-undang tersebut selanjutnya diselenggarakan berdasarkan PP 39/2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan. Amanat PP 39/2006 menyatakan bahwa setiap K/L diwajibkan secara berkala triwulanan menyampaikan hasil pemantauan pelaksanaan program dan kegiatan menurut perkembangan realisasi penyerapan dana, realisasi pencapaian target keluaran (output), dan kendala yang dihadapi.

Sejalan dengan keberadaan UU SPPN yang mengamanatkan perlunya evaluasi kebijakan yang hasilnya menjadi dasar penyusunan rencana pembangunan, serta kehadiran unit kerja Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan maka kini evaluasi menjadi sebuah kebutuhan strategsi dalam proses perencanaan. Kesempurnaan hasil evaluasi tentu saja –salah satunya-- sangat ditentukan oleh pendekatan yang digunakan sebagai metode evaluasi, pemilihan unit analisisnya, dan pelaksanaan evaluasinya. Sementara itu, keberhasilan memaknai atau menafsirkan hasil evaluasi sangat ditentukan dari prosedur evaluasi yang harus dilalui dalam proses evaluasi. Buku ini memberikan panduan sederhana dalam memahami prosedur evaluasi.

Apabila Pembaca menginginkan e-book buku “Metode Evaluasi Kinerja: Sebuah Panduan Sederhana”, mohon infak Rp 5.000 melalui rekening BCA guna mendapatkan password download.

===============
Buku-buku Seri Manajemen Perencanaan Pembangunan
Sinopsis buku “Model Logika: Untuk Evaluasi Pembangunan”

Sistem perencanaan pembangunan merupakan suatu proses yang bersifat siklus. Suatu siklus yang dimulai dari evaluasi pelaksanaan, penyusunan dokumen rencana, penetapan rencana dan implementasi, dan pengendalian pelaksanaan. Salah satu bagian dalam sistem perencanaan pembangunan yang penting adalah proses penyusunan dokumen rencana. Dalam proses penyusunan dokumen rencana terdapat 4 pilar yang teknik perencanaan yang harus dipahami oleh para perencana. Mereka adalah (1) penetapan sasaran pemanfaat, (2) penetapan indikator, (3) pendugaan hasil perencanaan, dan (4) pengendalian rencana. Masing-masing proses membutuhkan analisis dan alat analisis yang dapat digunakan untuk memahami kerangka konsep dalam substansi kebijakan program/kegiatan adalah dengan menggunakan model logika.

Buku ini memaparkan pemahaman evaluasi kinerja dan indicator kinerja sebagai dasar pelaksanaan analisis model logika. Model logika (logic model) sendiri adalah instrumen analisis yang dapat memberikan panduan sederhana untuk memahami indikator, indikator kinerja, dan relevansi serta keandalan indikator yang digunakan untuk mendekati penggambaran kerangka konsep yang digunakan.

Apabila Pembaca menginginkan e-book buku “Model Logika: Untuk Evaluasi Pembangunan”, mohon infak Rp 5.000 melalui rekening BCA guna mendapatkan password download.

===============
Buku-buku Seri Manajemen Perencanaan Pembangunan
Sinopsis buku “Pendekatan Kewilayahan Dalam Perencanaan Pembangunan”

Peraturan dan perundangan di era desentralisasi memperlihatkan komitmen Pemerintah Pusat untuk menata kembali dan meningkatkan sistem, mekanisme, prosedur, dan kualitas proses perencanaan dan penganggaran daerah. Ini dilakukan dengan tujuan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan daerah yang lebih baik, demokratis, dan pembangunan daerah berkelanjutan. Dalam serangkaian peraturan dan perundangan baru, penyusunan rencana dikehendaki memadukan pendekatan teknokratis, demokratis, partisipatif, politis, bottom-up dan top-down process. Ini bermakna bahwa perencanaan pembangunan nasional diminta untuk menerapkan pendekatan perencananaan wilayah.

Perencanaan wilayah selain diharapkan memenuhi kaidah penyusunan rencana yang sistematis, terpadu, transparan, dan akuntabel; konsisten dengan rencana lainnya yang relevan; juga kepemilikan rencana (sense of ownership) menjadi aspek yang perlu diperhatikan. Buku ini hadir untuk memberikan semacam pengantar pendekatan kewilayahan dalam perencanaan pembangunan.

Apabila Pembaca menginginkan e-book buku “Pendekatan Kewilayahan Dalam Perencanaan Pembangunan”, mohon infak Rp 5.000 melalui rekening BCA guna mendapatkan password download.

===============
Buku-buku Seri Manajemen Perencanaan Pembangunan
Sinopsis buku “Pendekatan Sektoral Dalam Perencanaan Pembangunan”

Pendekatan sektoral dalam perencanaan pembangunan adalah pendekatan perencanaan pembangunan berdasarkan sektor pembangunan. Pendekatan sektoral bermula dari diskusi tentang kebutuhan yang diperlukan oleh warga negara dan menjadi prioritas pembangunan berdasarkan kemampuan keuangan negara dan kemungkinan sumber pembiayaan di luar keuangan negara. Berbagai debat seputar sektor pembangunan yang layak menjadi perioritas itu didasarkan pada sektor apa yang dapat menjadi penggerak utama pembangunan. Buku ini hadir untuk memberikan pengantar pendekatan sektoral itu dalam perencanaan pembangunan.


Apabila Pembaca menginginkan e-book buku “Pendekatan Sektoral Dalam Perencanaan Pembangunan”, mohon infak Rp 5.000 melalui rekening BCA guna mendapatkan password download.

10 Januari 2011

Manajemen Pembangunan Nasional dan Manajemen Pembangunan Daerah

Profil Sistem Aplikasi Pendukung Mekanisme Manajemen Pembangunan Nasional dan Manajemen Pembangunan Daerah
Oleh:
Randy R. Wrihatnolo

I. Latar Belakang

Manajemen pembangunan merupakan suatu sistem pembangunan yang dimulai dari sistem pengelolaan data dan informasi pendukung kebijakan pembangunan, sistem perencanaan dan penganggaran, sistem pengorganisasian dan pelaksanaan pembangunan, sistem pengendalian pembangunan, sistem evaluasi dan pemantauan pembangunan, dan sistem pelaporan hasil pelaksanaan pembangunan. Manajemen pembangunan modern menambahkan sistem teknologi informatika sebagai sarana mempermudah operasi sistem pembangunan.

Wujud pelaksanaan manajemen pembangunan yang paling perlu mendapatkan perhatian baik pada level pemerintahan nasional maupun pada level pemerintahan daerah adalah penyusunan dokumen rencana pembangunan daerah, pelaksanaan evaluasi kinerja dan pemantauan pembangunan daerah, dan pengelolaan sistem informasi manajemen pembangunan daerah. Secara khusus berkenaan dengan pelaksanaan manajemen pembangunan daerah, beberapa regulasi seputar manajemen pembangunan daerah perlu mendapatkan pemahaman yaitu UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Berdasarkan UU SPPN, semua lembaga perencanaan pembangunan baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah wajib menjalankan fungsi perencanaan. Dokumen UU SPPN ini, telah menegaskan fungsi perencanaan yang dilakukan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah secara resmi ke dalam proses manajemen pembangunan agar terdapat kepastian hukum atas fungsi perencanaan. Pemahaman berbagai konsep perencanaan pembangunan bagi jajaran pemerintah daerah merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan pembangunan daerah. Dalam rangka pencapaian target pembangunan daerah, pemahaman konsep perencanaan pembangunan yang baik menjadi kebutuhan pokok jajaran pemeritah daerah. Dengan demikian penyusunan perencanaan kebijakan pembangunan daerah yang tepat sangat ditentukan oleh kemampuan jajaran pemerintah daerah dalam memahami konsep perencanaan pembangunan. Oleh karena itu pemahaman manajemen perencanaan pembangunan yang dimulai dari proses penyusunan perencanaan, penetapan kebijakan pembangunan, pelaksanaan pembangunan, hingga kembali pada monitoring dan evaluasi menjadi sangat diperlukan oleh para pelaku pembangunan termasuk pelaku pembangunan daerah.

Sementara itu, sebagai wujud dari ketentuan Pasal 30 Undang-Undang 25 Tahun 2004 tentang SPPN, pemerintah juga menetapkan Peraturan Pemerintah terkait dengan UU SPPN. Peraturan pemerintah tersebut adalah PP 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan. Dalam dokumen PP 39/2006 telah memuat tata cara pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan seperti: (1) pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan, (2) pengawasan pelaksanaan rencana pembangunan dan (3) tata cara pengawasan pelaksanaan rencana pembangunan. Selain ketiga poin di atas, dokumen ini juga mengatur evaluasi pelaksanaan pembangunan.

Lebih lanjut, dalam rangka memperkuat implementasi UU SPPN, pemerintah menerbitkan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU 32 Tahun 2004 memuat tentang kewenangan kepada daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai upaya untuk mendukung sinergi UU SPPN dan UU 32 Tahun 2004 serta sebagai konsekuensi dari pelaksanaan atas pengelolaan kebijakan fiskal di dalam proses perencanaan pembangunan, pemerintah juga mengeluarkan produk hukum UU 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tidak hanya itu, lahirnya produk hukum UU 33 Tahun 2004 ini juga akan menjadi acuan dalam rangka memperkuat UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam rangka mensinergikan berbagai regulasi demikian, maka suatu sistem informasi manajemen pembangunan daerah perlu mendapatkan tempat untuk dipahami agar siklus data dan informasi dalam rangka penyusunan rencana dan penganggaran pembangunan dapat dilakukan dengan tepat dan terarah. Dengam demikian, kebutuhan serta validitas data dan informasi dapat lebih berkualitas dan menentukan keperhasilan pelaksanaan rencana pembangunan.

II. Dasar Konsep

Seluruh kebutuhan mekanisme manajemen pembangunan baik dalam rangka manajemen pembangunan nasional maupun manajemen pembangunan daerah --sejak dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah, Rencana Kerja Pemerintah Daerah, Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah, hingga Evaluasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pembangunan Daerah—dapat dilakukan secara komputasi dengan dukungan penerapan teknologi informatika.

Teknologi informatika yang diterapkan adalah berbasis pada portal intranet yang disesuaikan dengan pilihan dan kebutuhan. Portal intranet dibangun dengan menggunakan CMS custom yang bekerja pada sistem LAMP (Linux-Apache-MySQL-Php), dengan menggunakan framework SmartyAjax - 2006 Dmytro Shteflyuk (kpumuk@kpumuk.info). Infrastruktur jaringan intranet akan dibangun di lingkup kerja pemerintah daerah yang bersangkutan dengan menggunakan aplikasi webbased dan berbasis teknologi opensource yang di-install pada server jaringan.

Sebagaimana CMS pada umumnya, portal intranet sudah dilengkapi dengan beberapa fitur/fasilitas, antara lain: fasilitas user manager, fasilitas menu manager, komponen artikel, komponen polling, komponen buku-tamu, komponen direktori, komponen produk hukum, komponen pengumuman, komponen image gallery, fitur search engine, fitur statistik pengunjung, fitur AJAX, dan lain-lain.

Fungsi utama yang diemban oleh portal intranet adalah sebagai media pemerintah daerah, untuk menampilkan informasi yang bersifat internal berupa aktivitas penyusunan dokumen rencana pembangunan daerah mulai dari pimpinan hingga staf di jajaran pemerintah daerah yang bersangkutan. Selain itu, portal intranet juga berperan sebagai repository lintas-aplikasi yang berjalan pada infrastruktur jaringan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pintasan menuju beberapa aplikasi jaringan, antara lain Bank Data Daerah (BDD) dan File Server.

Seiring dengan maraknya perkembangan e-government, maka sistem aplikasi manajemen pembangunan daerah dibangun berdasarkan dari enam bagian, yaitu: e-Budgeting, e-Project Planning, e-Procurement, e-Delivery, e-Controlling dan e-Perfomance. Masing-masing bagian terdiri dari satu atau lebih aplikasi sistem informasi, yang seluruhnya saling terkait dan bekerja secara simultan dan bertahap. Dengan dengan sistem aplikasi manajemen pembangunan daerah akan menjadi sebuah aplikasi tunggal yang tidak berdiri sendiri, melainkan terdiri dari banyak aplikasi terintegrasi yang bekerja dalam suatu siklus proses. Segmentasi aplikasi demikian dapat membawa kemudahan tersendiri dalam proses pengembangan sistem aplikasi manajemen pembangunan yang terpadu, yaitu memungkinkannya dilakukan pengembangan secara bertahap sesuai dengan prioritas, kondisi, dan dana yang tersedia. Saat ini telah ada beberapa sistem aplikasi manajemen pembangunan yang masing-masing masih berdiri sendiri, sebagai contoh adalah Simasdap milik Pemerintah Kota Surabaya (lihat Gambar).

Gambar 1.
Proses Perencanaan, Pelaksanaan, Pengendalian dan Monitoring-Evaluasi Kegiatan/Proyek dalam Format Simasdap di Pemerintah Kota Surabaya.

III. Produk

Berangkat dari latar belakang dan dasar konsep di atas, maka dalam rangka pencapaian keberhasilan pembangunan daerah, dipandang perlu adanya upaya pengembangan suatu sistem aplikasi terpadu yang menggabungkan sistem informasi manajemen, sistem pendukung keputusan, sistem informasi geografis, dan sistem evaluasi kinerja pembangunan dalam satu aplikasi yang komprehensif sehingga memudahkan pelaksanaan manajemen pembangunan baik pimpinan di jajaran pimpinan maupun staf dapat dengan mudah melakukan pengendalian, pemantauan, dan pengevaluasian pelaksanaan kebijakan pembangunan.

Berkenaan dengan hal tersebut, dua solusi ditawarkan, yaitu solusi pertama, menerapkan mekanisme manajemen pembangunan daerah yang dimulai dari (1) sistem pengelolaan data dan informasi pendukung kebijakan pembangunan daerah, (2) sistem manajemen perencanaan pembangunan daerah, (3) sistem manajemen penganggaran pembangunan daerah, (4) sistem evaluasi dan pemantauan pembangunan daerah, dan (5) sistem pengendalian dan pelaporan hasil pelaksanaan pembangunan daerah, yang masing-masing dibangun dalam sistem terpisah namun terintegrasi dalam satu sistem besar (6 in 1).

Sistem Aplikasi Pendukung Mekanisme Manajemen Pembangunan Daerah yang komprehensif (6 in 1) mempunyai manfaat seperti (1) Aplikasi tidak perlu di-download dan di-install, karena sistem ditanam dalam suatu server atau host tertentu; (2) Aplikasi mengkombinasikan 3 teknik sekaligus yaitu (1) manajemen database, (2) pengambilan keputusan, dan (3) mekanisme updating data partisipatif secara online; (3) Aplikasi dapat menampilkan data, analisis, dan laporan dalam berbagai metode dan format penyajiannya (tabel, grafik, sebaran spasial, menggunakan teknologi terkini yang state of the art); (4) Aplikasi memberikan kemungkinan migrasi format data (word, excel, PDF); (5) Aplikasi memberikan kemungkinan inter-connection dengan sistem data yang lain (bila diperlukan); (6) Aplikasi memberikan kemungkinan pengelompokan data (data grouping) menurut tematik, seperti kluster kebijakan berdasarkan Janji Kampanye Kepala Daerah, Millennium Development Goals (MDGs), dan Indeks Pembangunan Manusia (HDI); (7) Biaya operasional dan pemeliharaan dapat lebih hemat dibandingkan apabila aplikasi dibangun bertahap.

Solusi yang kedua adalah membangun sistem secara bertahap, dimulai satu per satu dari mengembangkan (1) sistem manajemen perencanaan pembangunan daerah, yang digabungkan dengan (2) sistem pengelolaan data dan informasi pendukung kebijakan pembangunan daerah, lalu digabungkan dengan (3) sistem manajemen penganggaran pembangunan daerah, kemudian digabungkan lagi dengan (4) sistem pengorganisasian dan pelaksanaan pembangunan daerah --yang di dalamnya memuat pula sistem aplikasi pendukung e-procurement, dilanjutkan dengan pengembangan (5) sistem evaluasi dan pemantauan pembangunan daerah, dan (6) sistem pengendalian dan pelaporan hasil pelaksanaan pembangunan daerah.

Prioritas pengembangan portal intranet pemerintah daerah disarankan dilakukan secara bertahap, namun apabila prioritas, kondisi, dana telah tersedia maka dapat juga dilakukan secara komprehensif.

Berhubungan dengan solusi yang pertama, produk yang dikembangkan sebagai contoh adalah: (1) Sistem Informasi Manajemen Pembangunan Nasional, dan (2) Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerah.

3.1. Sistem Informasi Manajemen Pembangunan Nasional (Si Monas)

Sistem Informasi Manajemen Pembangunan Nasional merupakan sistem aplikasi terpadu yang menggabungkan 5 sistem utama di atas (kecuali sistem pengorganisasian dan pelaksanaan pembangunan daerah). Sistem aplikasi ini juga dapat diterapkan pada level provinsi maupun level kabupaten/kota. Sistem aplikasi menggabungkan seluruh tahapan manajemen pembangunan mulai dari database, perencanaan, penganggaran, pengorganisasian dan pelaksanaan, evaluasi dan pemantauan, hingga pengendalian dan pelaporan. Pada tingkat nasional, sistem aplikasi ini sudah dilengkapi dengan peta wilayah dari 33 provinsi, lebih dari 500 kabupaten/kota hingga seluruh kecamatan dan kelurahan/desa yang ada. Pada tingkat provinsi, sistem aplikasi ini juga sudah dilengkapi dengan peta wilayah provinsi dari kabupaten/kota yang ada hingga seluruh kecamatan dan kelurahan/desa yang ada dalam provinsi yang bersangkutan.

Dalam konteks manajemen pembangunan daerah, unit data terkecil yang diterapkan dalam sistem ini adalah komponen kegiatan. Pengelompokan unit data terkecilnya dapat dilakukan pada tingkat kegiatan, program, SKPD, dan wilayah (kabupaten/kecamatan/desa/kelurahan).

Pada tataran penyusunan dokumen rencana pembangunan daerah dan penyusunan anggaran pembangunan daerah, maka sistem ini akan menerapkan regulasi yang ada, antara lain Permendagri Nomor 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah dan juga berdasarkan Kepmendagri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah juncto Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Pada tataran penyusunan format tatacara pengorganisasian dan pelaksanaannya, sistem aplikasi ini akan menerapkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan peraturan lain yang diberlakukan di daerah.

Pada tataran penyusunan format evaluasi dan pemantauan serta pengendalian dan pelaporan, maka sistem ini akan menerapkan Permendagri Nomor 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah dan juga berdasarkan Kepmendagri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah juncto Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Penyusunan data akan dilakukan dari tingkat SKPD yang mengisi target dan pagu kegiatan dan program menurut wilayah. Input data dapat dilakukan menurut SKPD. Berdasarkan input data tersebut, maka seluruh data digabungkan menjadi dokumen rencana pembangunan daerah dan dokumen penganggaran pembangunan daerah, format tatacara pengorganisasian dan pelaksanaannya, format evaluasi dan pemantauannya, dan format pengendalian dan pelaporannya.

Gambar 2.
Tampilan Sistem Informasi Manajemen Pembangunan Nasional

Berhubungan dengan solusi yang kedua, beberapa produk-produk yang dikembangkan sebagai contoh adalah antara lain (1) Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerah dan (2) Sistem Informasi Manajemen Pembangunan Daerah.

3.2. Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerah

Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerah adalah termasuk dalam kategori “sistem evaluasi dan pemantauan pembangunan daerah” yang difokuskan untuk memantau perkembangan pencapaian target kegiatan/komponen kegiatan dan perkembangan realisasi penyerapan pagu anggaran yang disertai dengan teknik evaluasi kinerja atas kegiatan/komponen kegiatan tersebut menurut program, SKPD, dan wilayah. Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerah ini dikembangkan dengan teknologi web dan fullflash. Database dalam sistem ini identik dengan nomenklatur Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun tertentu atau nomenklatur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun tertentu. Unit analisis yang diterapkan dalam sistem ini adalah komponen kegiatan. Pengelompokan analisis dilakukan mulai tingkat kegiatan, program, SKPD, dan wilayah. Analisis yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik pengukuran kinerja. Input data dilakukan secara partisipatif oleh pemangku tanggung-jawab di masing-masing unit kerja di seluruh SKPD di daerah tersebut. Input data dapat dilakukan menurut kebutuhan seperti triwulan, semester, dan tahunan. Berdasarkan input data tersebut, maka analisis kinerja –baik kinerja Program, kinerja SKPD, dan kinerja wilayah-- dapat dilakukan secara per triwulan, semester, maupun tahunan.

Gambar 3.
Tampilan Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerah

3.3. Sistem Informasi Manajemen Pembangunan Daerah

Sistem Informasi Manajemen Pembangunan Daerah adalah termasuk dalam kategori “sistem manajemen perencanaan pembangunan daerah, yang digabungkan dengan sistem pengelolaan data dan informasi pendukung kebijakan pembangunan daerah”. Sistem ini dikembangkan dengan teknologi web dan fullflash. Database dalam sistem ini identik dengan nomenklatur Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan RKPD tahun tertentu serta diseleraskan dengan nomenklatur APBD tahun tertentu. Unit analisis yang diterapkan dalam sistem ini adalah komponen kegiatan. Proses penyusunan dokumen rencana pembangunan daerah dilakukan secara bertahap mulai 3 tahapan besar, yaitu Tahap I (pengisian target dan pagu indikatif), Tahap II (pengisian target dan pagu sementara), dan Tahap III (pengisian target dan pagu definitif). Sistem ini difokuskan untuk membantu dan mempermudah penyusunan dokumen RKPD dan APBD tahun tertentu agar selaras dengan RPJMD-nya.

Penyusunan dokumen rencana dilakukan dengan dimulai dari tingkat SKPD yang mengisi target dan pagu kegiatan dan program menurut wilayah. Input data dapat dilakukan menurut SKPD. Berdasarkan input data tersebut, maka seluruh data digabungkan menjadi dokumen rencana pembangunan daerah. Format isian dalam penyusunan dokumen rencana pembangunan daerah akan mengikuti regulasi yang ada, antara lain Permendagri Nomor 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah dan juga berdasarkan Kepmendagri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah juncto Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Kelebihan sistem ini, karena digabungkan dengan “sistem pengelolaan data dan informasi pendukung kebijakan pembangunan daerah” maka akan dilengkapi dengan penampilan informasi kegiatan/komponen kegiatan dan program dalam sebaran peta spasial menurut batas-batas wilayah hingga satuan wilayah terkecil (desa/kelurahan).

Gambar 4.
Tampilan Sistem Informasi Manajemen Pembangunan Daerah

IV. Penutup

Manajemen pembangunan nasional dan manajemen pembangunan daerah yang berjalan sesuai format regulasi dan benar secara teknokratik adalah suatu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seluruh penyelenggara Negara ini. Kebutuhan terhadap manajemen pembangunan nasional dan manajemen pembangunan daerah membutuhkan dukungan teknologi informatika yang handal. Berkat ketersediaan teknologi informatika yang semakin modern dan teknik pemrograman yang semakin memadai kebutuhan pengembangan sistem aplikasi pendukung mekanisme manajemen pembangunan, maka pelaksanaan proses manajemen pembangunan yang dimulai dari perencanaan hingga pelaporan dalam satu model komputasi yang komprehensif bukan lagi suatu impian. Persoalannya barangkali adalah, beragamnya pertanyaan seputar seberapa perlukah (needs), seberapa terjangkaukah biaya pengembangannya (affordable), dan seberapa canggihkah teknologi yang digunakan (high-end fiture). Dan tentu saja, apakah investasi untuk pengembangannya sepadan dengan manfaatnya? Tentu saja jawabannya ditentukan oleh para penggunanya (user) sendiri.

--ooOOoo--

28 September 2010

Penggunaan APBD Harus Lebih Terarah

Penggunaan APBD Harus Lebih Terarah
Selasa, 28 September 2010

Menteri PPN/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana mengatakan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus lebih terarah untuk program-program kemiskinan dan menggerakan perekonomian daerah.

"Ruang anggaran APBD untuk kesehatan dan menggerakan ekonomi daerah masih terbatas, (untuk itu) bagaimana (membuat) postur APBD dan kemudian program prioritas APBD menjadi terarah," ujarnya di Gedung Bappenas, Jakarta, Senin.

Menurut dia, sebanyak 50 persen anggaran dalam APBD masih digunakan untuk belanja pegawai dan penggunaannya belum berlangsung secara efektif.

"Untuk itu perhatian kita dalam hal ini termasuk daerah juga bisa meng-guideline APBD, dan secara wajar mendukung pemerintahan secara umum," ujarnya.

Saat ini, Armida menjelaskan, pemerintah terutama Kementerian PAN sedang membuat panduan (guideline) baru untuk APBD yang diperkirakan selesai pada akhir tahun agar tidak ada belanja berlebih untuk pegawai.

"Berapa-berapanya dari kantor Kementerian PAN yang memberikan semacam `guideline` karena kemarin tidak ada koridor dan besaran-besaran dari berbagai anggaran seperti tunjangan-tunjangan di luar gaji tetap dan sebagainya," ujarnya.

Ia mengatakan, belanja pegawai yang berlebih tersebut, biasanya dialokasikan untuk para pegawai honorer yang baru diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) daerah setelah beberapa tahun.

Menurut dia, penyusunan APBD secara efektif tersebut sebagai bagian dari upaya peningkatan pengalokasian anggaran untuk program-program yang berkaitan dengan pencapaian tujuan pembangunan millenium (MDG`s)

"Targetnya akhir tahun ini kami menyiapkan guideline ke daerah sehingga mereka bisa menyiapkan roadmap-nya, jadi ada data konkrit, pencapaian apa, targetnya apa, isu dan permasalahan apa dan kebijakannya apa," ujar Armida.

Ia mengatakan, hal tersebut merupakan implementasi dari Inpres Nomor 3 Tahun 2010 mengenai Pembangunan yang berkeadilan yang menegaskan perlunya Peta Jalan (roadmap) pencapaian pada tingkat nasional serta penyusunan Rencana Aksi Percepatan Pencapaian Target MDG`s di daerah.

"Dengan adanya rencana aksi nasional, tugas kepala daerah menjadi jelas, target berapa dan pencapaian masih kurang dari sisi, minimal APBD, ada frame work. Karena mau kemana tanpa itu, jadi sulit dan tidak terbayang, itu gunanya roadmap dan penggunaan APBD makin efektif," ujar Armida.

Sumber: http://www.antaranews.com/berita/1285616528/bappenas-penggunaan-apbd-harus-lebih-terarah